Friday 22 March 2019

8 Tahun Perang Suriah: Impian dan Harapan di Antara Puing

Perang Suriah

Setelah delapan tahun perang Suriah, masih tersisa impian dan harapan di antara puing-puing reruntuhan. Begitu rumit perang ini dengan begitu banyak aktor, membuat jumlah korban jiwa sudah tidak terhitung. Namun banyak warga Suriah yang masih memendam harapan. Laporan terbaru dari Aleppo menggambarkan upaya arsitek Suriah untuk membangun kembali Aleppo, menghapus bekas luka perang sebanyak yang mereka bisa, dalam upaya untuk mengembalikan salah satu dari banyak permata Suriah.
Oleh: Marlo Safi (National Review)
Kemarin, 15 Maret 2019, menandai delapan tahun sejak perang Suriah dimulai. Perang itu menjadi bencana besar tidak hanya bagi negara kecil Levantin kuno, tetapi juga bagi dunia di sekitarnya: Orang-orang yang belum pernah mendengar tentang Suriah akan mengetahui keberadaannya dan krisis pengungsi yang terjadi.
Krisis Suriah akan menjadi pembicaraan bagi para calon presiden dalam pemilu Amerika.

Perang Suriah menjadi begitu bergejolak dan kompleks, sehingga tampak tidak mungkin bagi kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk menghitung jumlah warga Suriah yang terbunuh.
ISIS akan menghancurkan peninggalan-peninggalan bersejarah Suriah di Palmyra, atau menjualnya untuk mendapatkan uang untuk mendanai terorisme mereka.
Perang itu begitu rumit dan sulit bahkan bagi orang Suriah sendiri untuk melukiskannya. Bahkan bahasa yang kita gunakan untuk menggambarkan para aktor dalam perang itu, sangatlah rumit. Siapa pihak yang jahat, dan siapa yang baik? Siapa yang kita sebut sebagai “moderat” dan siapa yang kita sebut sebagai “teroris”? ISIS dan al-Nusra (afiliasi al-Qaeda) adalah satu-satunya kelompok yang menerima kecaman penuh dari warga sipil.
Seiring Suriah perlahan-lahan membaik, warga Suriah kembali ke rumah lama mereka atau menemukan tempat tinggal yang baru di kota asal mereka—desa keluarga saya di pinggiran Homs dievakuasi pada tahun 2012 ketika ISIS menggerebeknya, tetapi keluarga saya kembali ke desa mereka sekitar dua tahun yang lalu ketika kondisinya kembali ke normal (senormal yang bisa dicapai setelah perang dan pengeboman).
Suriah dan mereka yang telah mengikuti perkembangan perang ini bahkan tidak bisa sepakat tentang cara menggambarkan perang itu sendiri—Perang Suriah, atau Perang Sipil Suriah?
Dalam dua tahun terakhir, warga Suriah mulai kembali ke kota mereka dari mana pun mereka mencari perlindungan, seringkali dari Australia atau Jerman. Ketika saya mengunjungi Suriah pada bulan Oktober 2017, kehidupan tidak banyak berubah di desa pantai barat ayah saya di dekat perbatasan Lebanon, selain peningkatan keamanan di perbatasan. Lokasi lain, tentu saja, tidak seberuntung itu.
Pada Juli 2018, 200 warga Suriah terbunuh oleh ISIS dalam serangan rumah dan pengeboman bunuh diri di Sweida, sebuah kota di barat daya. Ketakutan akan serangan udara selalu mencekam, dan mereka yang tinggal di Barat dan berencana mengunjungi keluarga mereka, harus mengikuti berita dengan sangat cermat untuk memastikan bahwa mereka tidak akan terperangkap di tengah peperangan.
Namun, banyak warga Suriah yang masih memendam harapan. Rumor menyebar bahwa Palmyra akan dibuka untuk pariwisata musim panas ini, dan laporan terbaru dari Aleppo menggambarkan upaya arsitek Suriah untuk membangun kembali Aleppo, menghapus bekas luka perang sebanyak yang mereka bisa, dalam upaya untuk mengembalikan salah satu dari banyak permata Suriah.
Arsitek Bassel al-Daher menjelaskan tentang menutupi permukaan bangunan gosong dengan cat putih untuk merehabilitasi pasar Saqatiya, yang sudah ada dari zaman Turki Utsmani.
Ada keinginan dari rakyat Suriah untuk merebut kembali identitas mereka; untuk mengomunikasikan Damaskus sebagai kota berpenduduk tertua di dunia, kaya dengan budaya, bukan ibu kota negara yang hancur; untuk menerima kenyataan akan malapetaka, sementara tidak membiarkan persepsi universal orang-orang terhadap Suriah sebagai tempat yang rusak atau pasrah; untuk menghormati orang tak berdosa yang terbunuh di tangan beberapa pejuang yang berbeda di tanah leluhur, di mana mereka hidup selama berabad-abad.
Keterangan foto utama: Bangunan yang rusak berjajar di jalan di daerah Homs yang dibombardir, di Suriah, pada 27 Januari 2014. (Foto: Reuters/Yazan Homsy)


No comments:

Post a Comment

SPONSOR