Saturday, 22 December 2018

Benarkah Muslim Ditindas Di Negeri Tiongkok?

Ilustrasi

Untuk mencari tahu jawabannya dengan mendatangi langsung Xinjiang pada 3-11 Mei 2018 lalu. Di Ibukota Provinsi Xinjiang Uyghur Autonomous Region, Kota Urumqi, wartawan beberapa negara berjumpa dengan State Council Information Office China, Information Office Xinjiang Uyghur Autonomous Region dan Xinjiang Islamic Institute.
Presiden Xinjiang Islamic Institute, Abdurakib Bin Tumurniyaz adalah seorang pria tinggi besar bersuara berat. Dia tahu betul betapa pemberitaan negatif soal Xinjiang beredar luas di luar negeri.
“Berita soal puasa Ramadan dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan lihat langsung. Tidak ada aturan larangan. Saya memelihara janggut panjang begini apa saya ditangkap? Kan tidak,” kata Abdurakib.
Lantas, bagaimana dengan kerusuhan besar yang pernah terjadi di Xinjiang tahun 2009? Hal itu kemudian diikuti dengan beberapa kali insiden di tahun-tahun berikutnya.
Abdurakib mengatakan kerusuhan itu bukan karena masalah agama Islam. Xinjiang menghadapi masalah ekstremisme yang melibatkan kekerasan. Padahal ajaran Islam sendiri cinta damai, dan pemerintah China menurut Abdurakib menjamin kebebasan pemeluk agama.
Dalam penelusuran detikcom, kerusuhan di Provinsi Xinjiang memang bagai benang kusut. Yang paling banyak disorot adalah kerusuhan di Kota Urumqi dengan korban tewas lebih dari 197 orang.”Berdasar UU di China dan peraturan agama di Xinjang, setiap warga negara berhak mendapatkan kebebasan menjalankan agama. Gerakan ekstremisme internasional mempengaruhi Xinjiang, mereka anti agama dan anti masyarakat. Mereka merusak persatuan masyarakat. Sehingga melawan ekstremisme adalah untuk kepentingan semua orang,” kata dia.
Konflik ini bukan dipicu oleh agama. Kerusuhan diawali konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han. Namun penting diketahui, konflik ini tidak bisa digebyah-uyah sebagai konflik semua muslim di Xinjiang. Faktanya, etnis muslim Hui tidak terlibat bahkan mereka tidak mau menjadi bagian dari konflik.
Sikap keras dan represif pemerintah China dalam menghadapi kelompok ini juga perlu dikritisi. Pendekatan humanis perlu dikedepankan. Dari penjelasan Abdurakib, sepertinya pemerintah China juga menyadari itu.Khusus untuk etnis muslim Uyghur, rupanya ada sejarah panjang soal separatisme sejak tahun 1960 yang dimotori beberapa kelompok, seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM), dan yang terakhir adalah Turkistan Islamic Party (TIP). Seperti halnya juga di Indonesia, ada pengaruh kelompok teror seperti Al Qaeda sampai ISIS yang membuat urusan separatisme Uyghur ini makin keruh.
Xinjiang Islamic Institute yang berdiri tahun 1982 dengan izin Partai Komunis China (PKC) dan pemerintah Xinjiang, kini menjadi lembaga pendidikan untuk mempromosikan Islam yang damai.
Abdurakib lantas mengajak detikcom dan wartawan negara-negara lain melihat masjid mereka yang baru dan megah. Kemudian kami melihat proses belajar di kampus. Para mahasiswa belajar agama, mengaji dan bahasa mandarin.”Dari lembaga kecil sampai sebesar ini juga kita didukung PKC. Tahun 2014 kita bikin kampus baru dan selesai tahun 2017. Pemerintah lokal Xinjiang bantu dana. Kita punya 71 pengajar yang digaji pemerintah Xinjiang dan 480 murid. 5 Tahun kuliah, jadi sarjana dan lulusan kami jadi imam di berbagai kota di China,” kata dia.
Abdurakib tidak menampik fakta bahwa anak-anak Muslim di sekolah milik pemerintah China, belum boleh menjalankan ibadah. Pemerintah komunis China memang meniadakan urusan agama dari segala kantor pemerintahan dan institusinya.
“Jika itu institusi pemerintah memang begitu aturannya. Tapi selepas dari sana, mereka bisa belajar agama Islam di sini,” kata Abdurakib mencoba berkompromi.Menurut Abdurakib, pihaknya mengedepankan pembangunan budaya etnis minoritas. Mereka membuka kerja sama dengan dunia internasional dengan dasar saling menghormati dan bukan intervensi.
“Kita bikin pameran budaya ke Indonesia dan negara lain. Setiap kebebasan beragama diperhatikan dan pemerintah juga memperbaiki diri. Xinjiang sebagai Jalur Sutra Baru, kami mempromosikan dialog antaragama dan antarwilayah,” jelasnya.
“Dulu kantornya gedung tua bukan di sini tempatnya. Ini gedung baru, saya juga baru lihat dan memang besar dan bagus,” kata Mahmood Hali.Secara terpisah, detikcom juga bertanya kepada Sultan Mahmood Hali, wartawan senior Nawa-i-Waqt, Pakistan yang sering bolak-balik ke Xinjiang. Dia mengatakan pembangunan Xinjiang Islamic Institute memang sungguhan.
Jika mau melihatnya secara objektif, kedua pihak memang ada salahnya. Pemerintah China tidak ingin ada separatisme, itu bisa dimaklumi. Namun menghadapi kelompok minoritas dengan sikap represif itu tidak bisa dibenarkan. Kita juga tahu bagaimana China menghadapi Falun Gong.
Di sisi lain, Uyghur merasakan kecemburuan etnis dengan Han. Namun memakai jalan kekerasan, separatisme dan terorisme seperti yang dilakukan sekelompok kecil oknum masyarakat Uyghur, itu juga salah. Belum tentu semua etnis muslim Uyghur menghendaki cara seperti ini.
Dari kunjungan langsung ke Xinjiang, bisa dilihat memang ini masalah kesenjangan antar etnis dari faktor historis yang cukup panjang, baik aspek ekonomi dan politik. Orang Uyghur cemburu karena orang Han lebih sejahtera secara ekonomi. Orang Han cemburu karena orang Uyghur tidak terkena One Child Policy dan boleh punya anak lebih dari satu.
Sayangnya, ada pihak-pihak yang menutupi akar masalahnya dengan bungkus konflik agama. Hal itu tampaknya supaya isu Xinjiang ini laku dijual untuk mendapatkan simpati umat Islam di dunia. Namun, hal itu tidak menyelesaikan akar masalah.
Pemerintah China harus bersikap lebih lunak lagi. Etnis Uyghur pun harus mengedepankan cara-cara damai. Hentikan kekerasan. Etnis-etnis minoritas lain di Xinjiang harus membuka komunikasi dan dialog. Xinjiang adalah pekerjaan rumah yang belum selesai untuk China.

No comments:

Post a Comment

SPONSOR