Masih ingat dengan kasus yang menimpa etnis Rohingya yang sempat mencuat beberapa waktu lalu? Entah kenapa, tragedi yang sebenarnya sudah lama terjadi, mendadak jadi sorotan serius di negara ini. Padahal kita tahu, negara tidak berhak mengintervensi terlalu jauh urusan dalam negeri orang lain. Kita saja tak mau kalau masalah dalam negeri diintervensi negara lain, kan? Lagipula banyak berita yang simpang siur dalam pemberitaan ini dan tidak ada yang tahu persis kejadian sebenarnya selain pemerintah di sana.
Selain itu beredar meme-meme yang berunsur hoax alias bukan menggambarkan kondisi di sana. Jelas ada yang ingin provokasi melalui isu ini. Dan anehnya umat Budha di negara ini didesak mengecam dan bersuara. Aneh sekali, apa hubungannya umat Budha di sini dengan di negara sana? Lagipula 100 persen pemerintah sana takkan mendengarkan.
Kemudian isu ini pun berlalu dan tidak ada suaranya lagi. Tapi sekarang pola yang sama kembali muncul lagi. Kali ini yang menjadi fokus perhatian adalah etnis Uighur di Provinsi Xinjiang, Cina. Polanya mirip bahkan hampir sama persis.
Dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah Tiongkok terhadap Uighur Muslim di Provinsi Xinjiang memicu reaksi sejumlah kalangan di Indonesia. Kemarin ada aksi bela muslim Uighur di depan kedubes Tiongkok di Jakarta. Bahkan sebelumnya ada poster yang bertema aksi bersama solidaritas untuk muslim Uighur China. Ada ajakan untuk demo, bahkan ada ajakan untuk mengusir dubes Tiongkok.
Benar-benar tidak mikir panjang. Usir Dubes Tiongkok? Bela sih bela, tapi kalau main seruduk frontal seperti ini, mereka benar-benar konyol. Amerika Serikat yang konon negara super power saja mikir ribuan kali kalau mau berurusan dengan negara ini. Perang dagang adalah contohnya. Ketar-ketir.
Bahkan ada pula yang ajak boikot produk Tiongkok. Ini lebih tak waras lagi. Itu handphone, rata-rata buatan mana? Kalau pun tidak seluruhnya, komponennya buatan sana juga. Lihat deh produk-produk yang ada di rumah, rata-rata banyak buatan negara sana. Yakin mau boikot? Bisa-bisa balik ke zaman batu.
Dan anehnya lagi dalam poster itu juga dituliskan Uighur Merdeka yang berarti menyerukan agar kelompok etnis tersebut memisahkan diri dari Tiongkok. Nah, kan ini namanya cari masalah. Memisahkan diri, sama saja dengan memancing reaksi pemerintah sana. Malah memperuncing konflik. Tiongkok tidak main-main kalau sudah melibatkan separatis atau makar.
Kalau mau bela, silakan bela, asalkan masuk akal dan tidak konyol. Silakan bela dan fokus saja pada isu pelanggaran HAM atau dugaan lain. Tapi tolong jangan menyeret isu ini ke dalam konflik dalam negeri. Takutnya ada pihak yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politik. Ujung-ujungnya pemerintah diseret.
Kubu yang berkepentingan mungkin akan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. Pemerintah pasti akan mengambil tindakan, tapi takutnya mereka akan membuat narasi pemerintah kurang maksimal seperti yang pernah terjadi pada kasus Rohingya. Dikhawatirkan muncul lagi narasi kalau pemerintah takut atau antek Tiongkok. Ini saja sudah ada konspirasi murahan kalau pemerintah berutang dengan Tiongkok makanya takut. Padahal pemerintah tak bisa seenak jidat intervensi urusan negara lain. Tapi kubu sebelah mana mau tahu.
Coba kita renungkan sejenak. Kemarin aksi bela Rohingya, sekarang aksi bela Uighur. Tapi ada satu krisis kemanusiaan yang setahu penulis, tidak seheboh dua isu di atas. Krisis kemanusiaan Yaman.
Kalau mau diringkas, setidaknya 14 juta warga Yaman, atau separuh populasi negeri itu terancam kondisi ambang kelaparan, demikian peringatan PBB. Yaman mengalami kehancuran akibat meningkatnya konflik yang meningkat pada 2015, ketika koalisi yang dipimpin Arab Saudi melakukan intervensi militer setelah kelompok pemberontak Houthi menguasai sebagian besar wilayah barat negara itu.
Intervensi militer Arab Saudi di Yaman bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru melahirkan masalah yang sangat pelik. Ironisnya, dunia seolah bungkam tidak mengutuk aksi tersebut.
Menurut PBB, setidaknya lebih dari 6000 warga sipil telah tewas dan lebih dari 10.000 terluka akibat perang. Gempuran militer dan blokade terbatas oleh koalisi juga menyebabkan 22 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, menciptakan keadaan darurat keamanan pangan terbesar di dunia, dan menyebabkan wabah kolera yang berdampak pada 1,1 juta orang.
Pada akhir tahun 2017, badan amal Save the Children memperkirakan bahwa 130 anak meninggal dunia setiap hari karena kelaparan dan penyakit ekstrim, atau hampir 50.000 selama setahun. Krisis kemanusiaan makin diperparah oleh krisis ekonomi di Yaman dan pertempuran yang terus berlangsung di sekitar pelabuhan Hudaydah di Laut Merah yang dikuasai pemberontak.
Gini saja, biar tidak jadi perdebatan panjang. Mohon ralat kalau salah, kenapa tidak lakukan aksi bela Yaman? Berani tidak demo di kedubes Arab Saudi? Mereka sibuk demo kedubes Myanmar dan Tiongkok, kenapa tidak sekalian ke kedubes Arab? Padahal kondisi di Yaman sangat memilukan. Kalau mau adil demo semuanya dong.
Jadi tidak aneh kalau ada yang mengkhawatirkan aksi ini terselip kepentingan lain. Maklum, Tiongkok bisa menciptakan sentimen negatif di negeri ini. Apa yang ada kaitannya dengan negara ini seolah bikin mereka gerah. Apalagi objeknya adalah muslim Uighur, bisa saja dimanfaatkan oleh yang punya kepentingan politik untuk dibenturkan dengan pemerintah.
Ah, semoga saja itu salah semua. Mau bela, silakan bela, lakukan tindakan nyata. Jangan sampai bikin kacau dengan provokasi yang tidak perlu dan buat malu negara ini. Karena negara lain bisa membalas dengan intervensi misalnya kasus di Papua? Mau diintervensi? Pasti marah, kan?
Bagaimana menurut Anda?
No comments:
Post a Comment