Walau memahami adanya ancaman tsunami, namun Indonesia masih kekurangan sistem deteksi tsunami. Pihak berwenang mengakui, bahwa banyak nyawa bisa terselamatkan jika negara itu memiliki sistem peringatan tsunami yang memadai. Bahkan dengan kekurangannya, sistem yang ada dapat mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas seismik. Tetapi sistem ini tidak diatur untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas gunung berapi, meskipun ancaman ini telah dipahami dengan baik oleh para ilmuwan.
Oleh: Tria Dianti, Richard C. Paddock, dan Muktita Suhartono (The New York Times)
Seorang nelayan yang berusia 30 tahun sedang berada di rumahnya, menonton televisi, pada Sabtu (22/12) malam, ketika dia mendengar suara dentuman yang keras di lepas pantai.
Damin—nelayan yang tinggal di pantai barat pulau Jawa itu—terbiasa mendengar suara ledakan pulau vulkanik, Anak Krakatau, yang telah meletus hampir setiap hari sejak bulan Juni. Tapi kali ini, aumannya sangat keras, katanya pada Selasa (25/12).
“Kami terbiasa mendengar ledakan seperti itu, tetapi yang ini suaranya sangat besar,” kata Damin. “Ledakannya berbeda, seperti bom yang meledak.”
Suara itu ternyata menjadi satu-satunya peringatan dari gelombang pembunuh, yang menurut teori para ilmuwan dihasilkan oleh tanah longsor besar, baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Gelombang itu meraung ke darat dalam kegelapan, tidak sampai setengah jam kemudian. Tinggi gelombangnya lebih dari 16 kaki—lima kali lipat lebih tinggi dari apa yang awalnya dilaporkan pihak berwenang.
Indonesia—negara kepulauan dengan 127 gunung berapi aktif dan sering mengalami gempa bumi—telah berulang kali dilanda tsunami mematikan, termasuk dua tsunami dalam empat bulan terakhir.
Meskipun ada kemajuan ilmiah dalam deteksi dini tsunami, namun negara ini tetap rentan. Dan tidak ada cara untuk mendeteksi dengan tepat jenis tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12) lalu, yang dihasilkan dari tanah longsor yang disebabkan oleh letusan gunung berapi, dan mendorong sejumlah besar air laut yang menyerang ribuan orang Indonesia yang tidak menaruh curiga di daratan.
“Tidak ada evakuasi,” Sutopo Purwo Nugroho, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan kepada para wartawan pada Selasa (25/12). “Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengungsi.”
Sutopo juga berterus terang tentang alasannya.
“Tidak ada peringatan dini tsunami karena kita, Indonesia, tidak memiliki sistem peringatan dini tsunami yang dipicu oleh tanah longsor dan letusan gunung berapi di bawah laut,” katanya.
Tsunami terburuk Indonesia di zaman modern adalah tsunami Samudra Hindia tahun 2004, yang membuat sekitar 200 ribu orang tewas atau hilang di Sumatra bagian utara.
Setelah bencana tersebut, Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kejadian itu, termasuk pembangunan menara evakuasi di Aceh—provinsi yang paling terkena dampak—dan pembentukan sistem peringatan tsunami. Selesai pada tahun 2008, sistem peringatan itu terdiri dari sensor seismografi, pelampung, pengukur pasang surut, dan GPS.
Tetapi biaya perawatan sistem peringatan tersebut mahal, dan bagian-bagiannya telah rusak—termasuk pelampungnya, yang dirancang untuk mendeteksi perubahan permukaan laut dan mengirimkan informasi secara elektronik ke pusat data, yang dapat memperingatkan pihak berwenang setempat akan bahaya tsunami.
Ketika gempa bumi memicu tsunami mematikan yang melanda pulau Sulawesi pada bulan September—yang menewaskan 2.100 orang—tidak ada data yang diterima dari pelampung-pelampung itu. Dan peringatan yang dipicu oleh sistem sensor seismografik hanya dapat disebarluaskan seadanya, karena beberapa menara transmisi sinyal ponsel telah tumbang karena gempa.
Damin mengatakan, dia telah waspada terhadap kemungkinan bahwa letusan pada Sabtu (22/12) itu berbahaya bagi desanya.
Dia melihat ke arah laut sekitar setengah jam setelah dia mendengar suara yang menakutkan itu. Saat itulah dia melihat gelombang pertama tsunami mendekat. Dia mulai berlari bersama istri dan ibunya ke tempat yang lebih tinggi.
“Saya menyeret istri dan ibu saya,” katanya. “Lari cepat! Pergi! Cepat!” Dia ingat berteriak pada mereka.
Gelombang kedua, yang jauh lebih besar, menyusul mereka saat mereka berlari. Gelombang itu menyapu mereka tetapi mereka berhasil selamat.
Ketika mereka kembali ke rumah mereka di dekat pantai, tidak ada yang tersisa.
“Gelombang itu memusnahkan rumah saya dan semua barang yang ada di dalamnya,” katanya.
Setidaknya 429 orang tewas dan hampir 1.500 lainnya terluka dalam tsunami Selat Sunda, yang melanda Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Korban sebagian besar merupakan orang-orang di pantai yang sedang menikmati liburan akhir pekan.
Tetapi pihak berwenang mengakui, bahwa banyak nyawa bisa terselamatkan jika negara itu memiliki sistem peringatan tsunami yang memadai.
Bahkan dengan kekurangannya, sistem yang ada dapat mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas seismik. Tetapi sistem ini tidak diatur untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas gunung berapi, meskipun ancaman ini telah dipahami dengan baik oleh para ilmuwan, dan teknologi telah mendeteksi bahwa ancaman itu ada.
“Sistem peringatan dini bencana di Indonesia masih jauh dari memuaskan,” kata Sutopo.
Pihak berwenang awalnya mengatakan bahwa tsunami Selat Sunda setinggi tiga kaki, perkiraan mereka kemudian naik menjadi 10 kaki. Sutopo mengatakan pada Selasa (25/12), bahwa gelombang tersebut lebih tinggi, mencapai lebih dari 16 kaki di beberapa daerah.
Salah satu daerah dengan gelombang paling tinggi adalah Sumur, termasuk desa Damin, Sumber Jaya. Hampir semua rumah di desa itu rusak atau hancur.
Anggota masyarakat telah diperingatkan pada Senin (24/12) untuk menjauh dari pantai Selat Sunda selama setidaknya dua hari, karena takut Anak Krakatau dapat memicu tsunami lagi.
Gunung berapi itu telah muncul dari kawah Krakatau, yang meletus pada tahun 1883 di salah satu peristiwa terbesar yang pernah tercatat.
Tetapi banyak warga, termasuk Damin, kembali ke rumah mereka pada Selasa (25/12) untuk memeriksa kerusakan dan menyelamatkan apa yang mereka bisa selamatkan.
Pada suatu sore di Sumber Jaya, seseorang berteriak bahwa gelombang besar datang, mendorong ratusan orang yang panik berlari ke tempat yang lebih tinggi. Di antara mereka ada petugas polisi dan personel SAR yang membantu evakuasi.
Tapi, itu peringatan palsu.
Penduduk lain, Tati Hayati (51 tahun), juga kembali ke desanya, di mana sehari-hari ia mencari nafkah dengan menjual gas ke nelayan.
Dia berkata bahwa dia mencoba melarikan diri dari tsunami bersama anak-anak dan cucunya, dengan menaiki mobil SUV.
Gelombang kedua tsunami membalik dan menggulingkan mobilnya sejauh 100 kaki, merobek pintu belakangnya, katanya.
“Tiba-tiba semuanya gelap,” katanya. “Mulut saya dipenuhi pasir dan air. Saya tidak bisa bernapas. Saya pikir saya akan mati.”
Dia memperkirakan gelombangnya sekitar 13 kaki tingginya. Gelombang itu menceraiberaikan keluarganya, tetapi semuanya selamat, termasuk suaminya, yang terperangkap di sisi pengemudi selama berjam-jam.
Kerusakan di sepanjang pantai itu luas, tetapi juga berbeda-beda. Beberapa desa pesisir rusak berat, sementara yang lain di wilayah itu sebagian besar selamat tanpa cedera.
Di bagian utara, di desa Sambolo, Halimi sedang bermain kartu di depan rumahnya pada Sabtu (22/12) malam, ketika sebuah ombak besar melintasi jalan dan mendekat dengan kekuatan yang tidak biasa.
Dia dan teman-temannya tidak menyadari bahwa itu adalah gelombang pertama tsunami. Saat air surut, mereka masih terus bermain.
Gelombang berikutnya tiba beberapa menit kemudian dan gelombang itu jauh lebih besar, lebih dari 12 kaki, katanya. Gelombang itu menyapu dia, teman-temannya, dan kedua cucunya.
“Saya pikir saya akan mati,” kata Halimi (54 tahun).
Rumahnya mengalami kerusakan parah tetapi mereka selamat, termasuk cucunya yang berusia 4 bulan, Raka Septian Pratama, yang berada di bawah tempat tidur.
“Itu adalah keajaiban,” kata Halimi, “Tuhan telah menyelamatkannya.”
Keterangan foto utama: Kerusakan di Sumur, Indonesia, pada Selasa (25/12). Negara itu tidak memiliki cara untuk mendeteksi jenis tsunami yang dihasilkan pada akhir pekan lalu. (Foto: The New York Times/Kemal Jufri)
No comments:
Post a Comment